Tashra
Avanti.
Entah
berapa juta kali aku merapalkan namanya dalam keheningan malam, dalam hiruk
pikuk kemacetan Jakarta atau bahkan dalam setiap do’a ku.
Dia
sahabatku. Kami bertemu ketika SMP. Ketika keadaan tidaklah mudah buatku. Tapi,
dengan adanya dia, aku diberi kekuatan. Aku diberi senyuman. Setiap hari.
Entah
sudah berapa ribu malam aku habiskan mendengarnya berkeluh kesah, mendengarnya
berbahagia, mendengarnya patah hati.
Entah
soal ayah yang selalu ngomel setiap kali dia pulang pagi atau soal pak nathan
yang nganggep dia idiot karna gak bisa ngerjain soal integral atau tentang sang
ketua osis yang dia pergoki sedang mencium leher seorang junior- padahal kamu
dan dia masih berpacaran sampai meminta pendapatku soal pakaian dalam apa yang
paling seksi untukmu. Ah kalau sudah masalah ini, biasanya aku memutuskan
pergi, aku malu, membahas hal seperti itu.
Aku
selalu ada. Seperti jam tangan yang tidak pernah lepas dari pergelangan
tangannya.
Aku
selalu ada. Seperti Ipod yang tidak pernah lupa dia bawa, meski hanya pergi ke
SuperMarket.
Aku
tidak pernah absen dalam hidupnya. Sekalipun.
Malam
ini seperti biasa, aku hadir lagi pada malamnya yang kesekian ribu. Ternyata
dia masih marah. Aku tau itu. Kalau dia marah, dia selalu mengenakan baju
ataupun kaos berwarna merah. Karna dia selalu tau, aku benci warna itu.
Untungnya
aku bawa sesajen untuknya. Sebotol anggur. Dia suka sekali anggur, sementara
aku, tidak sama sekali. Perutku lemah. dan memang aku juga sama sekali tidak
menyukainya sih.
“untukmu”
aku menyodorkan botol anggur itu tepat di depan hidungnya. Dia tidak bergeming,
masih terlihat asyik memainkan Gadget nya.
Baiklah
baiklah, aku akan mengalah lagi.
“aku
minta maaf soal kemarin” dia masih tidak perduli. Lalu aku melanjutkan, “kamu
benar. Aku terlalu angkuh kemarin. Maaf yah” sekarang pelan-pelan kamu melirik
ke arahku. Tapi belum mau bicara. Yasudah, aku akan menunggunya. Seperti biasa.
Tik
tok. Tik tok. Sekitar 10 menit kita tidak saling bicara, aku tau waktunya sudah
berakhir. Dia tidak akan pernah tahan kalau 10 menit tidak bicara denganku.
“iiiiiiiiiiiih arkarn! Kenapa sih gak ngajak ngobrol aku?” tuhkan, apa ku
bilang. Dia itu terlalu transparan di depanku. Aku hafal segala hal
tentangnya.
“hahahahaha,
emangnya mau ngajak ngobrol apa? Orang kamunya
gitu” Dia awalnya cemberut tapi lama-kelamaan tertawa juga.
Tawa yang selalu aku sukai.
“aku
ada berita hot nih ark” Dia mulai bercerita. Bisa kutebak, ini pasti soal cowo
lagi. “tau tirta kan? Dia masa nembak aku ark!” tuhkan apa kubilang. Mukanya
merona seperti yang sudah-sudah.
Tirta
ini adalah ketua pecinta alam. Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi menurut
gosip yang aku dengar-dengar, dia ini termasuk kategori “si-mulut-manis”. “dia
baru aja putus sama jen. Dan ya gitu, gara-gara aku ikutan pecinta alam terus
kan aku itu mantan cheerleader jadi yaaaaa, tau kan ark” Dia
senyum-senyum sendiri. Aku tersenyum juga.
Ini
sudah 7 bulan semenjak dia putus sama Ben, si-ketua-OSIS-yang-doyan-main-gila.
Semenjak dia putus, dia jarang tertawa. Aku senang melihatnya seperti
ini.
Meskipun
sangat tidak menyenangkan buat hatiku, karna kenyataannya, aku tidak pernah
bisa membuatnya senyum-senyum seperti sekarang.
**************************
“heeeeeey” kamu melambaikan tangan ke arah
kedatanganku.
Hari ini tepat 5 bulan kamu berkencan dengan Tirta.
Sepertinya dia memberikan dampak yang cukup positif untukmu.
Aku senang. Kamu bilang kamu ingin merayakannya. Dan
tumben sekali kamu memilih tempat ini sebagai tempat kita bertukar
pikiran.
Aku meraih ayunan disebelahmu, mencoba memainkannya
seperti dahulu ketika masih di TK.
Kamu menengok ke arahku lalu tersenyum-senyum
sendiri. Aku bingung. “kenapa?” tanyaku, “6 tahun lagi ark. 6 tahun lagi” kamu
tersenyum, mukamu merah merona. Ada apa ini? Aku tidak mengerti. “maksudnya
tash?” kamu menengok ke arahku, bahkan mengubah posisi dudukmu hingga sekarang kita
berhadapan. “tirta ark! Dia hari ini ngelamar gue!”
DEG! Dilamar? Tunggu aku bingung.
“bentar deh, maksudnya, lo mau nikah sama tirta?”
bertahan sama cowo yang sama dan ngejalanin hubungan serius emang bukan kamu
banget.
Tapi kemudian kamu mengangguk. “iya ark! Aku mau
nikah sama dia”
kamu gak pernah berkata akan menikah dengan siapa.
Meskipun aku selalu berharap, laki-laki itu adalah aku.
“tapi 6 tahun lagi, bukan sekarang. Dia udah kasih
aku ini” kamu menunjukkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di jari
manismu.
Aku tertegun. Memandangimu yang dengan sabar
menantikan kalimat itu meluncur keluar dari bibirku. “selamat yah tash”
aku menyerah. Kali ini aku sudah kalah. Kamu
tersenyum. Memelukku.