Kamis, 15 Agustus 2013

Mungkin lain kali


Gue percaya hidup kedua. 
Dan kalo ada yang tanya apa yang pengen lo ubah di hidup lo yang kedua, maka dengan berani gue bakal jawab, gue pengen jadi apapun yang mungkin bisa dicintai oleh orang ini. 

Gue pengen jadi apapun, apapun yang bisa dia cintai lebih dari dirinya. 

Karna di hidup gue yang ini, dia gak seperti itu. Selalu gue. Gue yang lebih mencintainya lebih dari diri gue sendiri. 

Sementara dia. Dia gak pernah kaya gitu. Bahkan mungkin biasa-biasa aja. Padahal gue satu-satunya yang dia punya setelah kematian orang tua nya 10 tahun yang lalu. Tapi dia selalu begini. Dingin. Tidak dapat tergapai. Sekalipun oleh gue. Sahabatnya. Satu-satunya.

Seperti yang dibilang mereka, seperti yang dibilang Ibu, seperti yang dibilang kalian, mencintai memang tidak pernah menyenangkan, jika hanya seorang diri.

“lagi apa?” Rudi nyamperin gue. Secara terburu-buru tapi tetap tidak mau terlihat olehnya, gue nutup buku catatan pribadi gue. “ ah enggak, lagi bikin daftar kado yang mau gue kasih ke elo. Jadi lo masih punya waktu nabung buat beliin semuanya” gue mengedipkan sebelah mata sama rudi.

“yaampun! Gue lupa tra! Jangan bilang daftarnya sepanjang taun lalu. Plis banget, bisa bangkrut gue” ah si rudi ini, selalu nyebelin. Gue kan buat daftar supaya dia gak perlu cari-cari lagi. Malah ngeluh mulu. Gue diemin aja deh. Rudi punya banyak kebiasaan jelek, termasuk yang satu ini. Merajuk biar orang lain gak marah sama dia. Dan yang sangat menyebalkan adalah dia selalu saja bisa meluluhkan siapa pun. Dan menyebalkannya, orang yang selalu luluh adalah gue.

 “gimana kalo nanti kita main. Sambil mikirin, ubah sana sini soal daftar kado lo itu. Yah yah yah?”
dan selalu. Selalu gue mengiyakan. 
Bodoh? Ya begitulah. Orang yang jatuh cinta sendirian memang punya kecenderungan begitu. Kebodohannya sudah mendarah daging.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar