Gue percaya hidup
kedua.
Dan kalo ada yang tanya apa yang pengen lo ubah di hidup lo yang kedua,
maka dengan berani gue bakal jawab, gue pengen jadi apapun yang mungkin bisa
dicintai oleh orang ini.
Gue pengen jadi apapun, apapun yang bisa dia cintai
lebih dari dirinya.
Karna di hidup gue yang ini, dia gak seperti itu. Selalu
gue. Gue yang lebih mencintainya lebih dari diri gue sendiri.
Sementara dia.
Dia gak pernah kaya gitu. Bahkan mungkin biasa-biasa aja. Padahal gue
satu-satunya yang dia punya setelah kematian orang tua nya 10 tahun yang lalu.
Tapi dia selalu begini. Dingin. Tidak dapat tergapai. Sekalipun oleh gue.
Sahabatnya. Satu-satunya.
Seperti yang dibilang
mereka, seperti yang dibilang Ibu, seperti yang dibilang kalian, mencintai
memang tidak pernah menyenangkan, jika hanya seorang diri.
“lagi apa?” Rudi
nyamperin gue. Secara terburu-buru tapi tetap tidak mau terlihat olehnya, gue
nutup buku catatan pribadi gue. “ ah enggak, lagi bikin daftar kado yang mau
gue kasih ke elo. Jadi lo masih punya waktu nabung buat beliin semuanya” gue
mengedipkan sebelah mata sama rudi.
“yaampun! Gue lupa
tra! Jangan bilang daftarnya sepanjang taun lalu. Plis banget, bisa bangkrut
gue” ah si rudi ini, selalu nyebelin. Gue kan buat daftar supaya dia gak perlu
cari-cari lagi. Malah ngeluh mulu. Gue diemin aja deh. Rudi punya banyak
kebiasaan jelek, termasuk yang satu ini. Merajuk biar orang lain gak marah sama
dia. Dan yang sangat menyebalkan adalah dia selalu saja bisa meluluhkan siapa
pun. Dan menyebalkannya, orang yang selalu luluh adalah gue.
“gimana kalo nanti kita main. Sambil mikirin,
ubah sana sini soal daftar kado lo itu. Yah yah yah?”
dan selalu. Selalu gue
mengiyakan.
Bodoh? Ya begitulah. Orang yang jatuh cinta sendirian memang punya
kecenderungan begitu. Kebodohannya sudah mendarah daging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar